A. Pengertian Akad
Pengertian akad menurut bahasa berasal dari kata al-‘Aqd, bentuk masdar adalah kata ‘Aqada dan jamaknya adalah al-‘Uqud yang berarti perjanjian (yang tercatat) atau kontrak. Sedangkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam bahwa kata al-‘aqd yang berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq). Dari pengertian akad secara bahasa ini, maka akad secara bahasa adalah pertalian yang mengikat.
Secara terminologi, ulama fiqih membagi akad dilihat dari dua segi, yaitu secara umum dan secara khusus. Akad secara umum adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang, seperti jual-beli, perwakilan dan gadai. Pengertian akad secara umum di atas adalah sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah. Pengertian akad secara khusus adalah pengaitan ucapan salah seorang yang berakad dengan yang lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya. Pengertian akad secara khusus lainnya adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qobul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.
Adapun pengertian akad menurut istilah, disini ada beberapa pendapat diantaranya adalah Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al Fiqh Al Islami wa adillatuhyang dikutip oleh Dimyauddin Djuwaini bahwa “akad adalah hubungan / keterkaitan antara ijab dan qabul atas diskursus yang dibenarkan oleh syara’ dan memiliki implikasi hukum tertentu”. Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiddieqy bahwa “akad adalah perikatan antara ijab dengan qabul secara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridlaan kedua belah pihak”. Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa akad adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing pihak yang melakukan akad dan memiliki akibat hukum baru bagi mereka yang berakad.
Dengan demikian, persoalan akad adalah persoalan antar pihak yang sedang menjalin ikatan. Untuk itu yang perlu diperhatikan dalam menjalankan akad adalah terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing pihak tanpa ada pihak yang terlanggar haknya. Oleh karena itu, maka penting untuk membuat batasan-batasan yang menjamin tidak terjadinya pelanggaran hak antar pihak yang sedang melaksanakan akad tersebut.
B. Landasan Akad
Adapun yang menjadi dasar dalam akad ini pertama adalah firman Allah dalam al-Qur’an Surat al-Maidah ( [5] : 1 ) yang berbunyi:
يايهاالذين امنوا اوفوا بالعقود احلت لكم بهيمة الانعام الا ما يتلى عليكم غيرمحلى الصيد وانتم حرم ان الله يحكم مايريد (سورة الما ئدة:1)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
Adapun yang dimaksud dengan “penuhilah aqad-aqad itu” adalah bahwa setiap mu’min berkewajiban menunaikan apa yang telah dia janjikan dan akadkan baik berupa perkataan maupun perbuatan, selagi tidak bersifat menghalalkan barang haram atau mengharamkan barang halal. Dan kalimat ini merupakan asas ‘Uqud. Dasar kedua adalah firman Allah dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’ ( [4]: 29 ) yang berbunyi:
ياأيها الذين أمنوا لاتأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم ولاتقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما (سورة النساء:29)
Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jangan saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sungguh Allah Maha penyayang kepadamu”.
Dari ayat di atas menegaskan diantaranya bahwa dalam transaksi perdagangan diharuskan adanya kerelaan kedua belah pihak, atau yang diistilahkannya dengan ‘an taradhin minkum. Walau kerelaan adalah sesuatu yang tersembunyi di lubuk hati, tetapi indikator dan tanda-tandanya dapat terlihat. Ijab dan kabul, atau apa saja yang dikenal dalam adat kebiasaan sebagai serah terima adalah bentuk-bentuk yang digunakan hukum untuk menunjukkan kerelaan. Sedangkan dasar akad dalam kaidah fiqh berbunyi sebagai berikut:
الأصل في العقد رضى المتعاقدين ونتيجته ماإلتزماه بالتعاقد
Artinya:“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”.
Maksud dari kaidah di atas bahwa keridlaan dalam transaksi ekonomi dan bisnis merupakan prinsip yang utama. Oleh karena itu, transaksi dikatakan sah apabila didasarkan kepada keridlaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi.
C. Rukun dan Syarat Akad
Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk terjadinya akad. Tidak adanya rukun menjadikan tidak adanya akad. Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun akad terdiri dari:
- Al-‘Aqidain (pihak-pihak yang berakad)
- Ma’qud ‘Alaih (objek akad)
- Sighat al-‘Aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri)
- Tujuan akad
Berbeda dengan jumhur Ulama, Madzhab Hanafi berpendapat bahwa rukun akad hanya satu yaitu sighat al-‘aqd. Bagi Madzhab Hanafi, yang dimaksud dengan rukun akad adalah unsur-unsur pokok yang membentuk akad. Unsur pokok tersebut hanyalah pernyataan kehendak masing-masing pihak berupa ijab dan kabul. Adapun para pihak dan objek akad adalah unsur luar, tidak merupakan esensi akad. Maka mereka memandang pihak dan objek akad bukan rukun. Meskipun demikian mereka tetap memandang bahwa pihak yang berakad dan objek akad merupakan unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam akad. Karena letaknya di luar esensi akad, para pihak dan objek akad merupakan syarat, bukan rukun.
Berdasarkan beberapa rukun di atas, agar akad dapat terbentuk dan mengikat antar para pihak maka dibutuhkan beberapa syarat akad. Oleh karena itu, rukun dan syarat akad tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
- al-‘Aqidain (pihak-pihak yang berakad).
Yaitu pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya dalam hal jual beli mereka adalah penjual dan pembeli. Terkait dengan ini, Ulama fiqh memberikan syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang berakad, yakni ia harus memiliki ahliyah dan wilayah. Ahliyah memiliki pengertian bahwa keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi, seperti baligh dan berkala. Dalam hal ini ahliyah (kecakapan) dibedakan menjadi kecakapan menerima hukum yang disebut dengan ahliyyatul wujub yang bersifat pasif, dan kecakapan untuk bertindak hukum yang disebut dengan ahliyyatul ada’, yang bersifat aktif.
Ahliyyatul wujub (kecakapan untuk memiliki hak dan memikul kewajiban) adalah kecakapan seseorang untuk mempunyai sejumlah hak kebendaan, seperti hak waris, hak atas ganti rugi atas sejumlah kerusakan harta miliknya. Ahliyyatul wujub ini bersumber dari kehidupan dan kemanusiaan. Dengan demikian, setiap manusia sepanjang masih bernyawa, ia secara hukum dipandang cakap memiliki hak, sekalipun berbentuk janin yang masih berada dalam kandungan ibunya. Hanya saja ketika masih berada dalam kandungan, kecakapan tersebut belum sempurna, karena subjek hukum hanya cakap untuk menerima beberapa hak secara terbatas dan ia sama sekali tidak cakap untuk menerima kewajiban. Oleh karena itu, kecakapan ini dinamakan kecakapan menerima hukum tidak sempurna (ahliyyatul wujub an-naqisah). Setelah lahir, barulah kecakapannya meningkat menjadi kecakapan menerima hukum sempurna, yakni cakap untuk menerima hak dan kewajiban sampai ia meninggal dunia. Hanya saja kecakapan ini ketika berada pada masa kanak-kanak bersifat terbatas, kemudian meningkat pada perode tamyiz dan meningkat lagi pada periode dewasa.
Adapun ahliyyatul ada` (kecakapan bertindak hukum) adalah kecakapan seseorang untuk melakukan tasharruf (tindakan hukum) dan dikenai pertanggungjawaban atas kewajiban yang muncul dari tindakan tersebut, yang berupa hak Allah maupun hak manusia. Artinya, kecakapan ini adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan akibat hukum melalui pernyataan kehendaknya dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Sumber atau sandaran dari kecakapan ini adalah, pertama, sifat mumayyiz, yakni dapat membedakan antara dua hal yang berbeda, seperti antara baik dan buruk, salah dan benar dan sebagainya. Kedua, berakal sehat. Hanya saja kecakapan periode tamyiz ini, kecakapan bertindak hukum ini belum sempurna karena tindakan hukumnya hanya dapat dipandang sah dalam beberapa hal tertentu. Karena itu, kecakapan bertindak seseorang yang mumayyiz yang berakal sehat dinamakanahliyyatul ada an-naqisah (kecakapan bertindak yang tidak sempurna). Akad hanya dapat dilakukan sesorang yang mempunyai kecakapan bertindak secara sempurna (ahliyyatul ada` kamilah), yakni orang yang telah mencapai usia akil baligh dan berakal sehat.
Sedangkan wilayah dapat diartikan sebagai hak atau kewenangan seseorang yang mendapat legalitas syari’ untuk melakukan transaksi atas suatu objek tertentu. Artinya, orang tersebut merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu objek transaksi, sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya.Berdasarkan kedua syarat di atas, setiap transaksi yang tidak memenuhi kedua syarat yaitu ahliyah dan wilayah maka orang yang melakukan transaksi atau akad tersebut tidak dibenarkan oleh syara’ dan dinyatakan batal.
- al-Ma’qud ‘Alaih (objek akad).
Yaitu objek akad dimana transaksi dilakukan atasnya, sehingga akan terdapat implikasi hukum tertentu. Objek akad ini bisa berupa aset-aset finansial (sesuatu yang berrnilai ekonomis) atau aset non finansial, seperti wanita dalam akad pernikahan, ataupun bisa berupa manfaat seperti halnya dalam akad sewa-menyewa, jual beli, dan lain-lain. Oleh karena itu, untuk dapat dijadikan objek akad ia memerlukan beberapa syarat sebagai berikut:
a. Objek akad harus ada ketika akad/kontrak sedang dilakukan. Tidak diperbolehkan bertransaksi atas objek yang belum jelas. Hal ini didasarkan hadis Rasulullah SAW yang melarang siapapun menjual barang yang bukan miliknya, atau barangnya tidak ada.Hakim bin Hazm berkata: Aku berkata kepada Rasulullah SAW: ‘Wahai Rasulullah, seorang laki-laki datang kepadaku hendak membeli sesuatu yang tidak ada padaku. Lalu aku menjual barang dari pasar.’ Maka Rasulullah SAW bersabda:
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Artinya:“Janganlah engkau menjual apa yang tidak ada padamu” (HR. Abu Dawud No. 3503).
Ungkapan Nabi SAW ma laisa ‘indak (yang tidak ada padamu) bersifat umum mencakup apa yang tidak dimiliki, barang yang tidak dapat diserahkan kepada pembeli akibat tidak adanya kemampuan, dan barang yang belum sempurna pemilikannya. Dengan demikian, jelas bahwa semua barang yang tidak ada atau bukan miliknya tidak dapat diserahkan atau diperjualbelikan. Berbeda dengan Ibnu Taimiyah, yang membolehkan objek akad tidak ada saat kontrak, namun objek tersebut harus dapat dipastikan adanya kemudian hari, sehingga bisa diserahterimakan.
Terkait dengan itu, ulama fiqh mengecualikan beberapa bentuk akad yang barangnya belum ada. Seperti jual beli pesanan (salam), istisna’, ijarah, danmusaqah (transaksi antara pemilik kebun dan pengelolanya). Alasan pengecualiaan ini adalah karena akad-akad seperti ini amat dibutuhkan masyarakat dan telah menjadi adat kebiasaan (‘urf ) melakukan akad-akad seperti ini. Berdasarkan perbedaan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa objek akad yang tidak ada pada waktu akad, namun dapat dipastikan ada di kemudian hari, maka akadnya tetap sah. Sebaliknya, jika objek yang tidak ada pada waktu akad dan tidak dapat dipastikan adanya di kemudian hari maka akadnya tidak sah.
b. Objek akad harus berupa mal mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara’ untuk ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh pemiliknya. Misalnya dalam akad jual beli, barang yang diperjualbelikan harus merupakan benda bernilai bagi pihak-pihak yang mengadakan akad jual beli. Minuman keras bukan merupakan benda bernilai bagi kaum muslimin. Oleh karena itu, keadaan ini tidak memenuhi syarat untuk menjadi objek akad jual beli antara pihak-pihak yang keduanya atau salah satu pihak beragama Islam. Begitu juga barang yang belum berada dalam genggaman pemilik, seperti ikan yang masih dalam lautan dan burung di angkasa. Atau juga benda-benda negara yang tidak boleh menjadi milik perseorangan, juga tidak memenuhi syarat objek akad perseorangan, seperti hutan, jembatan, dan sungai.
c. Adanya kejelasan tentang objek akad. Dalam arti, barang tersebut diketahui secara detail oleh kadua belah pihak, hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya perselisihan dikemudian hari. Artinya, bahwa objek akad tersebut tidak mengandung unsur ghara dan bersifat majhul (tidak diketahui).
d. Objek akad bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan kemudian hari. Dengan demikian, walaupun barang tersebut ada dan dimiliki, namun tidak bisa diserahterimakan, maka akad tersebut dinyatakan batal.
3. Sighat al-‘Aqd (pernyataan untuk mengikatkan diri).
Sighat al-‘Aqd merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan/kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak / akad. Dalam hal ini, adanya kesesuain ijab dan kabul (munculnya kesepakatan) dan dilakukan dalam satu majelis akad. Satu majelis di sini diartikan sebagai suatu kondisi yang memungkinkan kedua pihak untuk membuat kesepakatan, atau pertemuan pembicaraan dalam satu objek transaksi. Dalam hal ini disyaratkan adanya kesepakatan antara kedua pihak, tidak menunjukkan adanya penolakan atau pembatalan dari keduanya. Sighat al-‘Aqd (Ijab dan kabul) dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk (sighat) yang dapat menunjukkan kehendak dan kesepakatan. Bisa dengan menggunakan ucapan, tindakan, isyarat, ataupun koresponden. Namun, seiring dengan perekembangan kebutuhan masyarakat, akad dapat juga dilakukan secara perbuatan langsung, tanpa menggunakan kata-kata, tulisan atau isyarat untuk menyatakan kehendaknya. Artinya, terjadi pernyataan kehendak secara diam-diam (at-ta’ati). Misalnya, jual beli yang terjadi di supermarket yang tidak ada proses tawar menawar. Pihak pembeli telah mengetahui harga barang yang secara tertulis dicantumkan pada barang tersebut. Pada saat pembeli pergi ke meja kasir sambil memberikan sejumlah uang, ini menunjukkan bahwa antara mereka telah memberikan persetujuannya masing-masing, sehingga akad terjadi.[40] Dengan demikian, dalam kontek ini dapat dikatakan bahwa ucapan dapat diungkapkan dalam berbagai macam bentuk dan yang terpenting juga adalah ucapan / ungkapan tersebut bisa mewakili maksud dan tujuan akad.
- Tujuan Akad
Tujuan akad merupakan pilar terbangunnya sebuah akad, sehingga dengan adanya akad yang dilakukan tujuan tersebut tercapai. Oleh karena itu, tujuan merupakan hal yang penting karena ini akan berpengaruh terhadap implikasi tertentu. Tujuan akad akan berbeda untuk masing-masing akan yang berbeda. Untuk akad jual beli, tujuan akadnya adalah pindahnya kepemilikan barang kepada pembeli dengan adanya penyerahan harga jual. Dalam akad ijarah (sewa-menyewa), tujuannya adalah pemindahan kepemilikan nilai manfaat barang dengan adanya upah sewa. Motif yang dimiliki oleh seorang tidak berpengaruh terhadap bangunan akad. Akad akan tetap sah sepanjang motif yang bertentangan dengan syara’ tidak diungkapkan secara verbal dalam prosesi akad. Misalnya, seseorang menyewa sebuah gedung atau rumah, akad sewa tetap sah dan penyewa berhak untuk memiliki nilai manfaat sewa serta berkewajiban untuk membayar upah. Walaupun mungkin, ia memiliki motif akan menggunakan gedung atau rumah tersebut untuk memproduksi narkoba.
Dengan demikian, motif dengan tujuan sangatlah berbeda karena motif tidak bisa membatalkan akad. Kalau melihat contoh di atas, maka secara dzahir akad tersebut tetap sah tanpa melihat yang tidak sesuai dengan syara’. Motif seperti ini dihukumi makruh tahrim karena adanya motif yang tidak sesuai dengan syara’. Dari penjelasan mengenai rukun dan syarat akad di atas. Maka bisa dipahami bahwa rukun dan syarat akad merupakan unsur yang penting dalam pembentukan sebuah akad. Oleh karena itu, ulama merumuskan hal tersebut dalam rangka untuk mempermudah pihak yang akad dalam menyelesaikan perselisihan yang akan muncul dikemudian hari.
D. Asas Akad dan Maqashid Syariah
Kita tahu bahwa akad (transaksi) merupakan bagian dari fikih mu’amalah. Jika fikih muamalah mengatur hubungan manusia dengan sesamanya secara umum, maka transaksi mengatur hubungan manusia dengan sesama menyangkut pemenuhan kebutuhan ekonominya. Dalam pandangan fiqh muamalah, akad (transaksi) yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan akad memiliki asas-asas tertentu. Asas ini merupakan prinsip yang ada dalam akad dan menjadi landasan, apabila sebuah akad dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan. Adapun asas tersebut adalah sebagai berikut:
- Asas ibahah; asas ini merupakan asas umum dalam hukum Islam. Kepadanya berlaku kaidah fiqh:
ا الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“pada dasarnya dalam muamalah segala sesuatu boleh kecuali ada dalil yang melarangnya”
Kaidah di atas memberi ruang yang seluas-luasnya dalam fiqh muamalah untuk menciptakan berbagai kreatifitas akad baru selama tidak bertentangan larangan universal dalam hukum Islam.
- Asas kebebasan; asas ini meniscayakan setiap orang yang memenuhi syarat tertentu, memiliki kebebasan untuk melakukan akad, sepanjang tidak melanggar ketertiban umum. Asas kebebasan dalam Islam tidak berarti bebas secara mutlak, akan tetapi bebas dengan persyaratan tertentu. Asas ini didasarkan pada firman Allah dalam Surat an-Nisa’ ayat 29 sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan landasan akad, pada ayat tersebut terkandung dua pesan yang perlu diperhatikan, yaitu; pertama, hendaklah perdagangan dilakukan atas dasar suka-rela dan kedua, hendaklah keuntungan satu pihak tidak berdiri di atas kerugian orang lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap transaksi yang tidak dilandasi kerelaan dari kedua belah pihak maka transaksi yang dilakukan menjadi batal.
- Asas konsensualisme; asas ini menyatakan bahwa untuk tercapainya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Artinya, bahwa dalam asas ini mengutamakan substansi dari pada format. Jadi, kerelaan kedua belah pihak yang berakad sebagai substansi dan ijab-qabul sebagai format yang memanifestasikan kerelaan.
- Asas keseimbangan; hukum perjanjian Islam memandang perlu adanya keseimbangan antara orang yang berakad, baik keseimbangan antara apa yang diberikannya dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam menanggung resiko. Artinya, bahwa sese orang yang melakukan transaksi harus menghindari adanya unsur riba dan merugikan salah satu pihak. Dengan demikian, larangan riba merupakan prinsip yang sangat penting dan mendasar. Selain itu, juga harus menghindari terjadinya mudharat pada salah satu / kedua belah pihak. Karena setiap muamalah yang menimbulkan mudharat adalah batal, sebagaimana hadis Rasulullah Saw. yang dikutip oleh Imam Nakha’i dan M. Asra Maksum dari kitabal-Muwatta’ Imam Malik yang berbunyi:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لاضرر ولا ضرار
Artiinya:”Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda, tidak boleh melakukan darar baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain”. (HR. Imam Malik).
- Asas kemaslahatan; artinya bahwa akad yang dibuat oleh para pihak dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak. Maslahah di sini berarti setiap hal yang baik dan bermanfaat, berdagang atau transaksi dalam muamalah adalah maslahah karena membawa manfaat dan kebaikan. Sedangkan dalam ushul fiqh bahwa maslahah adalah setiap hal yang menjamin terwujudnya dan terpeliharanya maksud tujuan syari’at (maqashid syariah), yaitu hifz al-din(memelihara agama), hifz al-nafs (memelihara jiwa), hifz ’aql (memelihara akal), hifz nasl (memelihara keturunan), dan hifz al-mal (memelihara harta). Dengan demikian, asas ini bisa dijadikan alasan untuk melarang setiap transaksi yang mendatangkan mudharat, baik kepada kedua belah pihak yang bertransaksi atau kepada orang lain, masyarakat dan lingkungan disekitarnya.
- Asas amanah; artinya bahwa para pihak yang melakukan akad haruslah beriktikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam hukum perjanjian Islam dikenal perjanjian amanah ialah salah satu pihak hanya bergantung informasi jujur dari pihak lainnya untuk mengambil keputusan. Dengan demikian, jika suatu saat ditemukan informasi yang tidak sesuai dengan informasi awal karena tidak jujur, maka ketidak jujuran tersebut bisa dijadikan dasar untuk membatalkan akad.
- Asas keadilan; keadilan merupakan sebuah sendi yang hendak diwujudkan oleh para pihak yang melakukan akad. Seringkali dalam dunia modern ditemukan sebuah keterpaksaan salah satu pihak oleh pihak lainnya yang dibakukan dalam klausul akad tanpa bisa dinegosiasi. Keterpaksaan tersebut bisa didorong oleh kebutuhan ekonomi atau yang lainnya. Dalam hukum Islam kontemporer, telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan memang ada alasan untuk itu. Oleh karena itu, adanya asas keadilan ini diharapakan bisa mendorong pihak yang melakukan transaksi selalu bernegosiasi sehingga muncul rasa saling rela dalam rangka untuk mencapai keadilan terhadap keduanya.
No comments:
Post a Comment