Jenis - Jenis Wayang - Jika di artikel
sebelumnya kita hanya membahas tentang pengertian dan sedikit sejarah tentang
wayang, maka kali ini kita akan membahas tentang jenis-jenis wayang yang
pastinya di Indonesia.
Di Indonesia sendiri ada banyak
sekali wayang yang terbuat dari berbagai macam bahan dan sampai saat ini masih
eksis ditengah-tengah masyawakat jawa khususnya. Dan berikut ragam atau jenis wayang :
1. Wayang Purwa
Wayang Purwa atau juga disebut wayang kulit karena terbuat dari kulit lembu. Wayang kulit dimainkan oleh dalang dibalik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih sementara belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak. Sehingga penonton hanya dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Secara umum, wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana. Dalam wayang purwa berdasarkan ukurannya dari yang paling kecil sampai besar dibedakan menjadi Wayang Kaper, Wayang Kidang Kencanan, Wayang Pedalangan, dan Wayang Ageng.
2. Wayang Golek
Wayang Golek adalah wayang yang terbuat dari boneka kayu, kebanyakan berpakian jubah (baju panjang) tanpa digeraikan secara bebas dan terbuat dari kayu yang berbentuk bulat seperti lazimnya boneka. Sumber ceritanya diambil dari sejarah, misalnya cerita Untung Surapati, Batavia, Sultan Agung, dan lain-lain. Wayang golek tidak menggunakan kelir seperti pada wayang kulit. Wayang ini sangat populer di tataran tanah sunda, yaitu Jawa Barat.
3. Wayang
Madya
Wayang Madya adalah wayang yang
diciptakan oleh K.G, Mangkunegara IV pada abad 18. Wayang ini merupakan
perpaduan dari Wayang Purwa dengan Wayang Gedog.Sumber ceritanya diambil dari
cerita pandawa setelah perang Bharatayuda, misalnya Prabu Parikesit. Sekarang
ini Wayang Madya jarang ditampilkan karena masyarakat sendiri telah mendarah
daging pada Wayang Purwa (kulit)
4. Wayang
Klitik
Wayang Klitik adalah wayang yang
terbuat dari kayu. Berbeda dengan wayang golek yang mirip dengan boneka, wayang
klitik berbentuk pipih seperti wayang kulit. Carita yang ditampilkan pada pagelaran
wayang klitik diambil dari siklus cerita Panji dan Damarwulan. Wayang Klitik
tidak ditancapkan pada pelepah pisang, melainkan menggunakan kayu yang sudah
diberikan lubang-lubang.
5. Wayang Gedog
Wayang diciptakan oleh Sunan Giri
pada tahun 1485. Wayang ini menceritakan Panji, yang menceritakan latar
belakang raja-raja kerajaan Jenggala, Kediri, dan Singasari. Bentuk
wayang gedog mirip dengan wayang purwa, tetapi tokoh-tokoh rajanya tidak
digunakan gelung supit urang dan tokoh raksasa ataupun kera.
6. Wayang Beber
Wayang beber adalah wayang berbentuk
lembaran-lembaran (beberan) yang terbuat dari kain atau kulit lembu, dan
dibentuk menjadi tokoh-tokoh wayang. Tiap beberan merupakan satu adegan cerita.
Jika tidak dimainkan, wayang bisa digulung. Wayang ini dibuat pada zaman
kerajaan Majapahit. Namun, konon para Wali Songo memodifikasi wayang ini yang
digunakan untuk menyebarkan agama islam dengan diubah menjadi wayang kulit, hal
ini dikarenakan dalam ajawan islam mengharamkan bentuk gambar dan patung.
7. Wayang Suluh
Pementasan wayang ini tergolong
wayang modern, karena biasanya untuk penerangan masyarakat. Wayang ini terbuat
dari kulit yang diberi pakaian lengkap lazimnya manusia. Semetara ceritanya
diambil dari kisah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah. Wayang ini
diciptakan oleh seorang budayawan asal Surakarta R. M Sutarto Harjowahono pada
taun 1920
8. Wayang Orang
Wayang Orang adalah cerita wayang
purwa yang dipentaskan langsung oleh orang atau manusia dengan busana seperti
wayang. Sumbernya pun sama dengan wayang purwa. Wayang orang diciptakan oleh
Sultan Hamangkurat I pada tahun 1731. Di Jawa pagelaran ini disebut dengan
Wayang Wong (Orang). Dalam pertunjukan Wayang Orang, fungsi dalang yang
merupakan sutradara tidak seluas seperti Wayang Kulit, dalang hanya bertindak
sebagai perpindahan adegan.
Sebenarnya masih banyak lagi jenis
wayang yang lainnya seperti: Wayang Titi, Wayang Wahyu, Wayang Suket, Wayang
Pancasila, dan masih banyak lagi wayang yang
menurut asal daerahnya. Dengan begitu kita sebagai generasi muda untuk
terus dilestarikan agar seni Pagelaran Wayang ini akan terus bisa
kita lihat sampai anak cucu kita.
Sumber : Atlas Pintar Dunia Wayang karya Rizem Aizid
Sumber : Atlas Pintar Dunia Wayang karya Rizem Aizid
Jumat,
30 Maret 2012
Seni memainkan wayang yang biasa disebut pagelaran,
merupakan kombinasi harmonis dari berbagai unsur kesenian. Pada pagelaran
wayang kulit dituntut adanya kerjasama yang harmonis baik unsur benda mati
maupun benda hidup (manusia). Unsur benda mati yang dimaksud adalah sarana dan
alat yang digunakan dalam pagelaran wayang kulit. Sementara unsur benda hidup
(manusia) adalah orang-orang yang berperan penuh dalam seni pagelaran
wayang kulit.
1.
Unsur Benda
Unsur benda yang ada dalam pagelaran wayang kulit adalah
alat-alat yang berupa benda tertentu yang digunakan dalam pagelaran wayang
tersebut. Bahkan terdapat unsur materi yang harus ada (karena tidak bisa
digantikan). Unsur materi yang dimaksud antara lain: wayang yang terbuat dari
kulit lembu, kelir, debog (batang pohon pisang), seperangkat gamelan,
keprak,kepyak, kotak wayang, cempala, dan blencong. Seperangkat alat tersebut
harus ada, karena alat-alat tersebut tidak bisa digantikan. Akan tetapi pada
perkembangan zaman ada modifikasi atau pengubahan yang bibuat berdasar
kebutuhan atau kreatifitas seniman, namun keberadaan wayang dan kelir tidak
bisa ditinggalkan.
a)
Wayang kulit Jawa tentunya
terbuat dari kulit.
Pada umumnya
terbuat dari kulit sapi
namun ada juga yang dibuat dari kulit kambing. Proses pembuatannya pun cukup lama,
mulai dari direndam lalu di gosok terus dipentang supaya tidak kusut kemudia
dibersihkan bulu-bulunya. Baru setelah itu diberi pula untuk kemudian ditatah
sesuai dengan gambar pola, dan terakhrir diwarnai. Jadilah wayang hasil kreasi
seni pahat dan seni lukis.
b)
Gamelan adalah seperangkat alat musik
perkusi dan petik serta gesek yang mengiringi pagelaran wayang. Jumlahnya
sangat banyak. Macam gamelan antara lain bonang, gambang, gendang, gong, siter,
kempul, dll. Gamelan dimainkan secara bersama-sama membentuk alunan musik yang
biasa disebut gending. Inilah seni kreasi musik dalam pagelaran wayang.
c)
Kelir adalah layar
lebar yang digunakan pada pertunjukan wayang kulit. Pada rumah Joglo, kelir di
pasang pada bagian ‘pringgitan’. Bagian ini merupakan bagian peralihan
dari pada ranah publik, pendopo dengan ranah privat, ndalem atau nggandok.
Oleh karena itu penonton wayang kulit yang tergolong keluarga, pada umumnya
nonton di bagian dalam ndalem, yang sering dianggep nonton mburi
kelir. Nonton di belakang kelir ini memang benar-benar „wewayangan’, atau
bayang-bayang. Lihat buku „Aspek Kebudayaan Jawa Dalam Pola Arsitektur
Bangunan Domestik dan Publik’ (Subanindyo, 2010). Dari sinilah pengaruh blencong
yang seolah-olah „menghidupkan‟ wayang akan dapat terlihat (lihat: Blencong).
Penonton juga tidak terganggu oleh adanya gamelan. Bagi penonton publik, mereka
menonton didepan kelir, sehingga selain dapat melihat keindahan dari pada
peraga wayang itu sendiri, oleh karena tatah dan sungging-nya,
berikut simpingannya, juga dapat menyaksikan deretan pesinden atau
waranggana manakala ada. Sayang, menyaksikan dari sisi ini selain tak dapat
menyaksikan pengaruh blencong, dimana wayang seolah-olah menjadi hidup,
juga terkadang terhalang oleh gamelan, terutama gayor untuk kempul dan
gong.
d)
Debog adalah
batang pisang yang digunakan untuk menancapkan wayang (simpingan). Di simping artinmya dijajar. Baik yang
dimainkan maupun yang yang dipamerkan (display), digunakan ‘debog’. Barang tentu
untuk „menancapkan‟ wayang yang di-display juga ada aturan-aturan tertentu. Mana wayang
yang harus ada disebelah kanan ki dalang, mana pula yang harus berada disebelah
kirinya. Tugas ‘menyimping’ ini sesungguhnya tidak terbatas hanya
memasang wayang yang harus di-display, akan tetapi juga mempersiapkan
segala sesuatu keperluan dalang. Misalnya menyediakan wayang-wayang yang akan
digunakan (play) sesuai urutan adegannya, menempatkan kotak wayang
berikut keprak dan kepyaknya, menyediakan cempala,
memasang dan menyalakan maupun mengatur sumbu blencong, lampu minyak
yang khas digunakan dalam pertunjukan wayang kulit, dan lain-lain.
Sekali-sekali juga membantu pelayanan konsumsi (makan minum, rokok) untuk
dalang. Untuk penyiapan ini terkadang dibantu oleh anak-anak muda sebagai salah
satu media pendidikan untuk mengenali dan akhirnya mencintai wayang.
e)
Blencong adalah lampu
minyak (minyak kelapa – lenga klentik) yang khusus digunakan dalam
pertunjukan wayang kulit. Design-nya juga khusus, dengan cucuk (paruh)
dimana diujungnya akan menyala api sepanjang malam. Oleh karenanya seorang
penyimping harus mewaspadai pula keadaan sumbu blencong tersebut
manakala meredup, atau bahkan mati sama sekali.Tak boleh pula api itu berkobar
terlampau besar. Karena akan mobat-mabit. Kalaupun lampu penerangan
untuk dalang pada masa sekarang sudah menggunakan listrik, sesungguhnya ada
fungsi dasar yang hilang atau dihilangkan dari penggunaan blencong tersebut.
Oleh karena blencong adalah lampu minyak, maka apinya akan bergoyang
manakala ada gerakan-gerakan wayang, lebih-lebih waktu perang, yang digerakkan
oleh ki dalang. Ada kesan bahwa ayunan api (kumlebeting agni) dari blencong
itu seolah-olah memberikan nafas dan atau menghidupkan wayang itu sendiri.
Hal yang tak terjadi manakala penerangan menggunakan listrik atau tromak
(petromax). Saat ini blencong sudah jarang digunakan. Dianggap
kurang praktis dan merepotkan.
f)
Kotak wayang berukuran 1,5 meter kali 2,5 meter ini
akan merupakan peralatan dalang selain sebagaimana sudah diutarakan merupakan
tempat menyimpan wayang, juga sebagai ‘keprak’, sekaligus tempat
menggantungkan ‘kepyak’. Dari kotak tempat menyimpan wayang ini juga
akan dikeluarkan wayang, baik yang akan ditampilkan maupun yang akan di-simping.
Di-simping artinya dijajar, di-display di kanan dan kiri layar (kelir)
yang ditancapkan di debog (batang pisang). Kotak akan ditaruh dekat
dalang, di sebelah kiri, dan ditentang yang dekat dalang ditempatkan kepyak.
Sedang kepraknya justru bagian dari kotak yang dipukul dengan cempala.
Keprak adalah suara dhodhogan sebagai tanda, disebut sasmita, dengan
jenis tertentu diwujudkan pemukulan pada kotak dengan menggunakan cempala.
Sementara pada kepyak, berupa tiga atau empat lempengan logam
(kuningan/gangsa atau besi) yang digantungkan pada kotak, juga dipukul dengan cempala,
dalam bentuk tanda tertentu, juga sebagai sasmita atau tanda-tanda untuk –
selain mengatur perubahan adegan – merubah, mempercepat, memperlambat, sirep,
menghentikan atau mengganti lagu (gendhing). Terdengar nada yang berbeda
antara kepyak wayang kulit Jogya dan gaya Surakarta.
g)
Cempala merupakan piranti sekaligus ‘senjata’ bagi dalang
untuk memberikan segala perintah, baik kepada wiraniyaga, wiraswara maupun
waranggana. Bentuknya sangat artistik, bagaikan meru. Ia bisa dipukulkan
pada kotak, sebagai keprak, bisa pula ke kepyak, tiga/empat
lempengan logam yang digantungkan pada kotak wayang. Pada saat ke dua tangan
dalang sedang memegang wayang – dan ini yang unik – maka tugas untuk
membunyikan keprak maupun kepyak, dengan tetap menggunakan cempala,
dilakukan oleh kaki kanan ki dalang. Cempala – dengan desain sedemikian
rupa itu – akan dijepit di antara ibu jari dan jari telunjuk berikutnya.
Menggunakan cempala memerlukan latihan untuk memperoleh tingkatan
ketrampilan tertentu. Memukul kotak dengan cempala, Ki Dalang dapat
memilih berbagai kemungkinan pembangun suasana dengan dhodhogan, seperti
ada-ada, pathetan, kombangan. Dapat pula sebagai perintah kepada
karawitan untuk mengawali, merubah, sirep, gesang atau menghentikan
gamelan. Juga dapat digunakan untuk memberikan ilustrasi adegan, seperti suara
kaki kuda, suara peperangan dan lain-lain. Artinya, ketika ke dua belah tangan
ki dalang sedang memainkan wayang, maka keprak atau kepyak dapat
juga berbunyi. Suatu keprigelan yang jarang dapat dilihat oleh para
penonton wayang, karena biasanya ia sedang asyik mengikuti adegan yang
ditampilkan di kelir (layar). Padahal untuk mencapai tingkat keprigelan
tersebut, seorang dalang harus melakukan latihan-latihan yang intensif. Betapa
tidak, keempat anggota badan, tangan dan kaki harus terus bergerak, sementara
pikiran dan pandangan terfokus pada apa yang dilakukannya di layar / kelir.
2.
Unsur Manusia
Dalang, penyimping, penabuh, dan sinden adalah orang-orang
yang berperan penting dalam kelancaran dan keberhasilan sebuah pagelaran
wayang. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kemahiran khusus dalam
bidangnya masing-masing. Berkat kemahiran khusus tersebut, terkadang mereka
tidak bisa digantikan oleh sembarang orang.
a)
Dalang adalah sutradara, pemain, artis, serta
tokoh sentral dari pada suatu pertunjukan wayang. Tanpa dalang, maka
pertunjukan wayang itu tidak ada. Apalagi untuk dalang pada pertunjukan wayang
kulit. Komunikasi antara dalang dengan unit pendukung, perlengkapan dan
peralatan pertunjukan wayang merupakan komunikasi yang unik. Melalui segenap
indera yang dimilikinya, ia berkomunikasi dengan kompleksitas orang dan
peralatan yang lazim digunakan dalam suatu pertunjukan wayang. Tanpa suatu
skenario yang dipersiapkan terlebih dahulu, namun wayang tampil secara spontan,
kompak dan tidak pernah mengalami ‘out of order’, semalam suntuk.
Sungguh suatu bentuk teater yang „aneh‟ karena meskipun tanpa suatu skenario - padahal dalang
dapat memilih beratus lakon atau cerita baku (babon-pakem), carangan,
anggitan (sanggit) – tontonan dapat berjalan mulus dari jejeran sampai
tancep kayon.
b)
Penyimping adalah orang yang membantu dalang
dalam menyiapkan wayang yang di jajar (disimping) pada debog
(simpingan). Tugas ‘menyimping’ ini sesungguhnya tidak terbatas
hanya memasang wayang yang harus di-display, akan tetapi juga
mempersiapkan segala sesuatu keperluan dalang. Misalnya menyediakan
wayang-wayang yang akan digunakan (play) sesuai urutan adegannya,
menempatkan kotak wayang berikut keprak dan kepyaknya,
menyediakan cempala, memasang dan menyalakan maupun mengatur sumbu blencong,
lampu minyak yang khas digunakan dalam pertunjukan wayang kulit, dan
lain-lain. Sekali-sekali juga membantu pelayanan konsumsi (makan minum, rokok)
untuk dalang. Untuk penyiapan ini terkadang dibantu oleh anak-anak muda sebagai
salah satu media pendidikan untuk mengenali dan akhirnya mencintai wayang.
c)
Panjak adalah orang yang bertugas memainkan gamelan. Orang-orang
yang bertugas sebagai penabuh gamelan harus mempunyai kemahiran khusus dalam
memainkan lagu (gendhing) sesuai dengan permintaan si dalang. Permintaan si
dalang tentunya tidak verbalistik, namun penabuh gamelan diharuskan memahami
isi cerita/lakon wayang dan gendhing yang dimainkan hendaknya diselaraskan
dengan lakon cerita wayang. Hal inilah menuntut ketajaman intuisi bagi penabuh
gamelan dalam pagelaran wayang, karena dalam pagelaran wayang tidak disediakan
notasi musik dalam memainkan gamelan. Semuanya menggunakan intuisi seniman.
d)
Waranggana adalah penyanyi wanita dalam seni karawitan yang dimainkan
dalam pagelaran wayang kulit. Lazim juga disebut pesinden. Penyanyi ini selain
harus mempunyai kemahiran dalam menyanyi dengan suara yang merdu, namun juga
ketahanan fisik yang prima. Hal ini diperlukan karena biasanya pagelaran wayang
kulit itu dilaksanakan semalam suntuk. Tentu harus mempunyai fisik yang sehat
dan kuat untuk melantunkan lagu-lagu jawa serta menahan kantuk mulai senja
hingga pagi hari.
Diposkan oleh Ifanad di 21.
sumber : http://www.hadisukirno.co.id/artikel-detail.html?id=Macam-Macam_Wayang
http://wayanggokil.blogspot.co.id/2012/03/kelengkapan-dalam-pagelaran-wayang.html
No comments:
Post a Comment